Oleh : Heni Purwaningsih
Cukup lah aku tak ingin kau menghancurkan senjaku. Dulu
memang kita pernah bersama tapi kau telah menodainya dan sekarang kau datang
untuk meminta segelas cinta? Sampai berlututpun aku tak akan pernah
memberikannya. Aku tak percaya akan cintamu.
***
Aku lirik jam tangan bundar usang pemberian mendiang Bunda.
Aku percepat langkahku menuju kantor seperti biasa. Aku mendapatkan pekerjaan
sebagai sekertaris disalah satu perusahaan yang baru saja berdiri. Kebetulan
pendirinya adalah pamanku sendiri. Aku bekerja sama dengan salah seorang
anaknya namanya Johan. Dia pria yang begitu ambisius dengan keinginnanya.
Bahkan aku selalu dibuat sempoyongan dengan apa yang ia perintahkan. Hampir
mati berdiri, apa yang dilakukan haruslah sempurna. Padahal semua butuh suatu
proses dan waktu, tapi tidak untuknya.
Hari itu aku memang bangun agak telat dari biasanya.
Semalaman aku habiskan satu tok tisyu hanya untuk mengeringkan air mata yang begitu
deras membasahi pipiku. Hingga bengkak mataku pagi itu. Cukup malu aku untuk
berjalan ke kantor hingga aku kenakan kacamata agar tidak begitu terlihat
bengkaknya kedua bola mataku.
Aku sendiri bingung akan apa yang aku tangisi semalam, yang
pasti bukan menangisi pria yang telah menyita emosi dan pikiranku. Namanya Danny,
tepatnya dia adalah mantan kekasihku. Aku kira dia pria
yang baik ternyata tidak. Biarlah aku tak ingin membahasnya kembali.
Polusi terasa kembali menggelitiki hidungku. Di halte bus
sudah cukup banyak orang yang menanti satu bus, termasuk aku di dalamnya. Aku
lirik berulang kearah jam tanganku. Masih ada waktu lima belas menit. Kalau bus
datang tak terlalu lama mungkin tak akan terlambat dan jalanan tidak macet.
Aku terus berdoa dalam hati namun berharap hari itu tak
terlamat. Napasku terasa sesak. Saat berebut masuk kedalam bus. Untung aku
dapat menerobos masuk kedalam cela-cela, aku tersenyum geli. Tubuh kecilku ada gunanya juga. Gumamku
dalam hati. Rasa panas begitu menguras keringatku. Berulang kali aku melirik ke
arah jam tanganku dengan begitu khawatir.
“Mbak, jam jadul kok masih dipake.” Kata salah seorang pria
yang berdiri tepat dibelakangku.
Aku hanya tersenyum kecil. Ih nda tau aja ini jam ada
sejarahnya. Gumamku mencoba bungkam mulut tak mengatakan apapun.
Tuhan mendengar doaku. Aku sampai kantor tepat waktu.
Untung si Johan belum hadir untuk maki-maki begitu puas kepada aku kalau pun
aku terlambat. Aku bersihkan dan rapikan sedikit bajuku.
“Kalau ke kantor bisa tidak untuk tampil rapi dan sedap dipandang.” Desah Johan dari belakang
begitu mengagetkan aku.
“Ta…tapi, dari rumah aku sudah rapi hanya saja karena
desak-desakan di bus jadi seperti ini.” Kataku mencoba menjelaskan.
“Rapikan sebelum aku naik darah kepadamu.”
Tanpa banyak komentar aku menurut saja. Jujur saja ingin
aku gaplok wajah pria itu. Untung dia anak pamanku.
***
Jam makan siang aku hanya duduk-duduk malas di kursiku.
“Hay Fe.” Sapa Selly membuka pintu ruangku.
Aku melebarkan senyum dengan berat.
“Kenapa kamu, udah kaya kain kusut aja.” Selly menarik satu
kursi di depan mejaku.
Aku tersenyum agak tertahan.” Kamu ini, tidak makan siang
Sel?”
“Ini aku mau ajak kamu. Sekalian aku ingin curhat.” Kata
Selly tersenyum sedikit merayu.
“Baiklah, sepertinya cacing di perutku sudah mulai pada
berontak.”
Dalam makan siang itu. Selly banyak menceritakan tentang
calon tunangannya namanya Rendi. Yah Selly memang sering membicarakan pria itu,
bahkan hingga kupingku panas menderngarkan cerita yang sama terulang-ulang.
Tapi aku hanya diam menghormati akan apa yang ingin Selly utarakan.
“Fe, tau nggak. Kemarin Rendi kasih aku kejutan, ia beri
kalung ini.” Selly menunjukan kalung liontin indah, emas putih yang cukup
membuat aku iri.
Aku hanya tersenyum kecil. Aku patah hati tapi harus tetap
tersenyum kepada Selly, sulit rasanya. Aku habiskan makanan di piring dengan
tidak minat sama sekali.
***
Aku renggangkan sedikit otot-otot
yang sempat menegang karena Johan yang buat aku mati kutu. Aku rapikan beberapa
berkas di depan monitor dengan cepat agar aku bisa cepat pula sampai ke rumah.
Ingin rasanya langsung terjung begitu saja keatas tempat tidur.
Aku lirik kearah pas foto aku, ayah dan bunda. Aku ambil
pas foto dengan perlahan. Ditatapnya foto itu dengan rasa benci yang begitu besar.
Kepada Ayah, rasanya aku tak bisa memaafkan kesalahan ayah sepanjang umurku.
Dari dulu aku ingin rasanya amnesia agar aku tak dapat mengingat akan kejadian
itu. Bunda tak pernah tau akan kejadian itu, saat ayah menemui ajalnya sepuluh
tahun yang lalu. Aku sempat bingung haruskah aku menangisinya atau kah aku
harus tersenyum bahagia akan apa yang telah ayah lakukan kepadaku?
Kejadian itu menimpaku dua belas tahun yang lalu ketika
usiaku sepuluh tahun. Saat itu Bunda tengah perjalanan jauh ke luar kota selama
tiga hari untuk mengikuti seminar dimana ibu yang menjadi mentornya. Jadi aku
di tinggal di rumah bersama ayah. Karena aku juga harus sekolah tidak mungkin
aku ijin tiga hari di hari UAS saat itu. Ayah sosok yang menyenagkan, ia selalu
bisa melucu dengan cerita-ceritanya. Sore itu selepas main dan belajar aku
duduk di ayunan di halaman belakang rumah. Ayah menyusulku dengan membawakan snacks potato kesukaanku. Ayah menceritakan suatu
cerita lucu. Aku sempat terbuai dan tertawa terbahak-bahak bersama dengan tawa
ayah.
Namun lama kelamaan semuanya berubah. Ayah berubah menjadi
sosok lain. Aku tak mengerti apa yang ia lakukan. Ayah paksaku. Aku yang tak
banyak punya tenanga, lemas tak berdaya. Hingga air mataku jatuh
membasahi pipiku dan kain skapan ayah yang digunakan untuk menutupi mulutku.
Ayah lakukan hal yang salah. Berulangkali aku berusaha untuk merontah namun
akhirnya ayah menghantamkan satu pukulan keras hingga aku jatuh pinsan.
Saatku tersadar ayah tengah menghisap satu batang rokok di
mulutnya.” Jangan bilang siapa-siapa ini rahasia kita.”
Aku hanya menangis saat itu dan keluar dari kamar ayah. Aku
langsung meraih boneka pandan aku peluk erat-erat. Tangisanku tumpah begitu
saja. Kala itu. Semenjak itu rasa nyeri dan sakit sering kali membuat risih, di
daerah kemaluan ku.
***
Aku banting pas foto itu dengan refleks ketika mengingat
tragedi itu. Air mataku mulai turun. Tubuhku terasa lemas. Ku rasa jantung ini
berhenti berdetak.
“Fe. Kenapa?” Kata Johan mendekatiku yang tengah menangis
seorang diri di ruanganku. Hampir semua karyawan sudah pulang.
“Fe, kamu mendengar aku?” Kata Johan sekali lagi.
Aku
enggan untuk menjawabnya. Aku hapus air mataku.
“Ada apa? Kenapa kau banting pas fotonya.” Kata Johan
memungut pas foto itu.
“Tumben kau punya rasa simpatik padaku.” Kataku meraih
tasku dan langsung lari keluar ruang.
Johan menarik tanganku dengan kuat.” Pulang bersamaku.”
Katanya lirih.
“Tak usah aku sudah dewasa bisa pulang sendiri.”
“Tapi untuk kali ini ijinkan aku.” Johan menatapku penuh
rasa harap.
Akhirnya aku menyerah. Aku mengangguk setuju.
Sepanjang perjalanan aku hanya diam menatap kosong kearah
samping. Tak aku lihat wajah Johan. Dia pun seakan enggan untuk bicara panjang
lebar kepadaku.
***
Sampai di rumah Johan menatapku dengan tatapan yang tak
biasa lalu tersenyum.” Selamat malam, langsung tidur yah.” Katanya.
Aku hanya membalas senyumannya.
Selang satu minggu setelah Johan mengantarkanku. Selapas
jam kerja Johan mengajakku untuk makan malam disalah satu restoran bernuansa
klasik.
“Silahkan duduk.” Kata Johan menarik satu kursi untukku.
“Terimakasih.” Kataku mulai duduk dengan santai.
Ternyata Johan telah memesan menu terlebih dahulu. Kami pun
duduk di kursi khusus, hanya ada kita berdua. Aku menatap bingung. Dengan
ornamen yang begitu kental akan klasik. Berwarna coklat dan penuh lampu-lampu
kecil dengan suasana agak gelap.
“Ada hal yang penting?” tanyaku menatap Johan dengan wajah
penasaran.
Johan menggukkan kepalanya bersamaan dengan pelayan yang
mengantarkan menu untuk kami.
Aku menatap kaget. Darimana Johan tahu akan menu yang aku
suka. Nasi goreng dengan telur setengah matang, bercita rasa pedas, sedikit
kecap.
“Aku tahun kamu pasti suka.” Kata Johan.
“Tunggu, ada apa ini? Kok kaya nda biasanya?”
“Sudah makan dulu baru aku bicara serius padamu.”
Aku menurutinya begitu saja. Seusai makan. Johan
mengantarku ke halaman belakang restoran tersebut. Cuaca malam itu begitu cerah
hingga aku terbuai didalamnya. Bintang bertaburan begitu indah.
“Aku tahu kamu pasti suka.”
“Iya aku suka sekali.” Kataku menatap bintang dilangit
“Kamu pernah bilang ingin menari bersama bintang? Akan aku
kabulkan permintaanmu.” Katanya membuat jantungku berdebar makin kencang.
Aku dan Johan menari malam itu rasa bahagia menyelimuti
hatiku.
“Fe, senadainya kau punya kakak seperti ku apa kau akan
membenciku?”
“Kalau kamu lagi galak aku benci denganmu tapi kalau lagi
santai seperti ini rasanya sungguh menyenangkan.”
“Fe, ada satu rahasia yang akan aku ungkap disini. Aku rasa
ini sudah waktunya.”
“Rahasia? Apa?”
“Duapuluh dua tahun yang lalu. Kau tahu ibuku meninggal
dunia sesaat setelah melahirkan adik perempuanku?”
“Iya aku tahu akan cerita itu, lalu?”
“Saat itu keadaan ekonomi keluargaku sedang caruk-maruk.
Ayah tak lagi punya uang untuk modal usahanya. Perusaahan ini juga beliau
rintis dari nol. Hingga adik perempuanku di angkat jadi anak angkat oleh
sepasang suami-istri yang cukup kaya. Ayah biarkan adikku dirawat olehnya.
Jujur saja aku tak pernah rela. Namun aku sering melihatnya dari kejauhan hanya
sekedar ingin tahu keadaannya. Mungkin ia sudah sebesar kamu Fe. Cantik, pintar
dan memiliki jiwa yang tegar seperti ayah.” Kata Johan.
“Begitu nyiris ceritanya. Lalu kamu tahu dimana adik kamu
berada?” Kataku mengangkat kedua alisku dan menatap Johan dengan pandangan
menerawang.
“Dia sekarang ada disampingku.” Kata Johan menatapku.
Aku tak percaya, jantung berasa berdenyut cepat hingga aku
tak lagi merasakan iramanya seirama dengan napasku.” Aku?”
“Iya dia kamu, Felina Mey. Kamu adikku dan orang yang kamu
anggap paman adalah ayah kandungmu. Jujur saja sebenarnya aku ingin katakan ini
setelah ibu dan ayah angkatmu meninggal dunia diwaktu yang berbeda namun
rasanya kurang tepat dan sekarang aku katakan semua.”
Jadi ayah ku? dia ayah angkatku? ayah yang sudah menodaiku?
Ayah yang tega melakukan hal yang hina itu kepadaku dengan rasa tanpa dosa? Tak
aku sadari air mataku keluar dengan derasnya. Aku rasakan begitu mencekal dalam
dada.
Johan memelukku, menghapus air mataku.
Seoang yang aku benci dan menjadi orang yang selalu
memerintahku seenaknya dalah kakak kandungku. Dunia ini begitu terasa misterius
bagiku.
Itulah sebabnya aku ingin ingatanku hilang. Sekedar untuk
menghilangkann rasa sakit saat kecil dulu.
***
“Boleh aku memanggilmu dengan sebutan Kakak?”
“Iya sayang boleh.”
“Kak Johan, biar aku menari bersama bintang malam ini.
Ingin rasanya aku lepaskan semuanya.” Kataku memintanya.
“Tentu saja. Aku akan menemani tarianmu bersama bintang
malam ini.”
Malam itu aku habiskan waktu bersama seorang yang ternyata
saudaraku.
***
Luka itu tak dapat hilang walau sudah di obati namun
bekasnya akan abadi tuk selamanya. Andai Kak Johan tahu akan peristiwa itu.
Akan kah ia marah? Entahlah biar Tuhan yang menghukumnya
— T H E E N D —
Post a Comment