Lorong Cinta

Posted Monday, August 13, 2012 by Heni Puwaningsih


 Oleh : Heni Purwaningsih 


Aku biarkan air hujan menetes membasahi wajahku, akan aku biarkan butir-butir yang terhempas angin serasa menusuk-nusuk kulitku hingga masuk kedalam tulang. Aku hanya ingin sendiri dan menangis disini. Merasakan semuanya menjadi ketidak mungkinan.
Serasa lelah langkah ini terus dipaksa. Akan kemanapun tidak akan menjadi mungkin. Karena baginya aku adalah sebuah robot, suatu objek pelampiasan kehidupannya dimasa lalu. Inginku terobos setiap lorong waktu. Kembali kemasalalu dan ku pinta Tuhan tidak pernah ciptakan aku di dunia.
Bolehkah?


Tidak, itu hanya ketidak mungkinan yang aku harapkan. Aku berjalan menembus tirai hujan yang nampak menertawakan kepedihanku. Meranapi jalan kehidupan yang bagiku seperti menapakkan kaki diatas bara api yang menjilat-jilat. Air mataku kembali menetes. Mengingat deretan lemar kehidupan yang tidak ingin aku lihat kembali. Aku terus berjalan dengan langkah yang mulai gemetar.
Angin berhembus, kilat menyambar dan Guntur menggelegar. Aku tarik napasku panjang. Semoga Tuhan tidak menghanguskan aku dalam beberapa detik karena sambaran petir.
Dipenghujung jalan aku temui seberkas cahaya melingkar. Entah cahaya apa itu. Aku melihati dengan jantung berdebar dan rasa penasaran yang memeluk relung jiwaku hingga aku lupa akan rasa dingin serta sesak yang sedari tadi menggeluti jiwaku.
Aku melangkah perlahan, mendekati berkas cahaya yang mirip seperti cahaya matahari diantara awan mendung. Namun cahaya itu ada di penghujung jalan yang mungkin masih ada jalan rahasia menuju kesana. Aku terhenti sejenak sembari menggosok-gosokkan kedua telapak tanganku. Baju basah kuyup membuat rasa dingin begitu terasa.
Tiba-tiba saja, kaki kanan dan tangan kananku serasa ditarik medan magnet yang begitu kuat kearah berkas cahaya melingkar itu. Aku berteriak dan merontah-rontah, bersama tubuh yang terseret masuk kedalam berkas cahaya itu.
Tarikan tersebut begitu kencang menarik tubuhku. Tidak banyak yang dapat aku rasakan hanya seperti menuju sebuah lorong yang gelap beberapa menit hanya aku habiskan untuk berteriak sembari merasakan detak jantung yang terus berdenyut makin kencang, napaspun serasa susah untuk aku lakukan kala itu.
Pluk
Tubuhku serasa terlempar begitu saja dari lorong gelap yang menyesakkan dada. Aku rasakan mentari bersinar begitu cerah menghangatkan tubuhku yang terasa beku sebelumnya. Debar jantungku terdengar begitu memilukan di tengah kicauan burung yang kian ramai mewarnai birunya langit dengan awan putih yang nampak halus.
Aku berjalan di jalan setapak berkerikil dengan disisi kanan dan kiri berupa semak belukar dan alang-alang yang menjalar menghalangi langkahku. Beberapa aku hampir saja terjatuh ketika mendapati beberapa serangga.
Sebenarnya aku ada dimana? Kataku sembari terus memerintahkan mataku untuk mengawasi keadaan disekitarku.
Tidak banyak hal yang aku rasakan di tempat asing ini, namun rasanya aku begitu mengenal tempat aneh ini. Aku mencoba mengingat. Namun tidak berhasil, karena di sekitarku hanya ada tanah yang begitu luas dan penuh dengan alang-alang yang menjalar tidak beraturan.
Aku istirahatkan tubuhku di bawah pohon mangga yang rindang. Perjalanan panjang apa aku lakukan hingga terjebak pada tempat yang membuat aku merasa terasingkan. Dimana rumah ayahku? Dimana sekolah, teman dan semuanya? Menghilang? Bersama lorong yang membuat aku bingung?
Aku tutup wajahku dengan kedua tanganku, membuiarkan air mata kembali menghujan begitu deras.
Pluk
“Au….” Aku berteriak kesakitan setelah ku rasakan timpukan batu kecil dari atas pohon mangga.
Mataku terus mencari-cari orang yang berani menipuk aku dari atas. Disela-sela mulut aku yang mulai komat-kamit kesal, suara tawa terdengar dari atas.
“Ih, siapa sih nakal banget.”
Suara tawa itu makin membuat darah aku mendidih. Aku tarik napasku panjang dan aku buang melalui mulut.
“Jangan marah-marah, cepet tua nanti.” Kata seorang pria kecil turun dari balik ranting-ranting pohon mangga.
Mataku mengikuti gerakan kaki pria kecil aku. Tapi…
Sosok pria kecil berusia sekitar lima tahun itu.
Mata aku menatapnya tanpa kedip.
 Cherron, dia sosok pria yang paling aku benci karena kejailannya.
Aku benar-benar tidak dapat berfikir secara nalar karena sederet fakta yang aku temukan membuat pikiranku menggila.
“Hay, mbak kok diam sih.” Charron melambaikan tangannya tepat di depan wajahku.
Jantung aku serasa berdetak cepat. Charron pun berjalan menjauh, perlahan dengan langkah riangnya. Ketapel kesayangan Charron nampak dipermainkan seiring langkahnya.
“Charron.” Panggilku.
Charron menoleh ke arahku.
Aku terdiam dan menggigit bibirku dengan kesal. Kenapa aku harus memanggil nama pria menyebalkan itu.
“Kok mba tau namaku?” Charron menatapku heran.
Aku diam tanpa bisa menjawab dan hanya berdiri mematung. Apa yang harus aku katakana kepada Charron. Aku diam dan hanya diam. Sampai tidak lama dari itu sosok kecil aku. Richa, ya Tuhan apa yang terjadi saat ini.
Richa kecil datang dengan air mata tertetes di pipinya, aku diam dan berusaha mengumpat dibalik pohon mangga yang masih belum jauh dari langkahku. Aku kecilkan tubuhku supaya tidak terlihat.
Charron nampak mencari sosok aku. Masih aku ingat benar, kejadian dua belas tahun yang lalu. Charron memang sengaja membuat aku menangis dengan mempermalukan aku di depan teman-teman dan Charron mencari pohon untuk tempat persemubunyian. Dari kecil aku dan Charron tidak pernah akur. Dan tidak akan pernah. Mulutku mulai mengguming sendiri dibalik pohon yang nampaknya berhasil membuat Charron tidak menemukan sosokku.
****
Aku berjalan tanpa tujuan namun kakiku menuntun aku menuju rumah kecil orang tuaku yang berada di perumahan. Tapi tiba-tiba saja langkah aku terhenti ketika aku mendapati Ayah bercakap-cakap indah bersama ibu Charron. Mereka terlihat begitu akrab dan terjalin obrolan yang hangat. Aku mencoba untuk menajamkan pendengaranku. Dibalik tembok pagar salah satu rumah aku duduk melihati gerak-gerik mereka berdua.
“…..”
Mereka nampak tertawa terbahak-bahak.
Aku merasa kesal pada diriku sendiri karena obrolan mereka. Aku terduduk lemas di pagar tembok tersebut. Aku rasakan butir-butir udara senja terasa begitu menyentuh menenangkanku. Terdengar kembali tawa riang dari Richa dan Charron dari ujung jalan setapak. Aku melihati mereka dengan pandangan iri, rasanya aku ingin menjadi Richa kecil kembali.
Mentari nampak akan tenggelam di ufuk barat dengan cahaya penuh kedamaian, langit nampak keorensnan dengan burung-burung saling berbaris membentuk pola bersama kelompoknya pulang kembali ke saranggar mereka. Tidak terasa butir air mataku kembali menghujan.
“…..”
“Itu hanya masalalu…..” Terdengar suara bentakan seorang pria dan satu lembaran sebuah buku diary tebal terlempar ke arahku.
Aku tersentak kaget aku tatapi buku itu dengan ribuan rasa penasaran, buku itu nampak sudah lama tersimpan. Yang membuat jantungku berdebar kencang adalah aku baru menyadari bahwa yang tengah debat mulut adalah Tante Laura dan Um Hans orang tua dari Charron.
Ada rahasia apa dibalik diary yang dilemparkan Um Hans.
Aku peluk erat buku itu di dadaku. Kembali aku langkahkan kaki menjauh dari rumah Um Hans.
Aku duduk di rumah pohon yang terletak tidak jauh dari rumah ku. Rumah pohon itu memang menjadi rumah pelarianku. Berlari dari amarah ayah yang membuat aku selalu menangis. Sampai aku dewasa ayah masih saja marah kepadaku, entah apa yang memicu kemarahannya. Aku hanya merasa apa yang aku lakukan selalu salah dimatanya. Aku bak robot dalam kehidupannya yang dapat dipermainkan kapan saja.
Aku tatap titik-titik bintang yang tengah bersinar disana. Menghiasi langit gelap. Aku baringkan tubuhku di rumah pohon sembari menatap bintang-bintang diangkasa. Angin malam yang dingin kembali menerpa tubuhku.
Aku buka lembar pertama buku diary yang terlempar kearahku. Betapa kagetnya aku, dihalaman pertama diary itu adalah foto ayah dan tante Laura sewaktu duduk dibangku SMA. Mereka nampak begitu mesrah di foto itu, dengan menaiki sepeda ontel senyum melebar diantara wajah keduanya. Aku buka kembali lembar kedua dan berikutnya.
Air mataku menetes saat membaca tulisan dihalaman hampir dibelakang.
13 Mei 1985
Persahabatan aku, Teddy dan Uci benar menuju puncak kehancuran. Penghianatan persahabatan. Semua membuatku tidak dapat memendam lebih jauh rasa indah yang hadir begitu saja bersama Teddy. Aku kira Uci tidak mencintai Teddy tapi….
Betapa seperti dihempas jauh kedalam neraka harapan dan janji bersama Teddy kandas begitu saja hanya karena ketololan Teddy. Ia lepas control,malam itu aku berjalan ditengah derasnya hujan, dengan menggunakan payung ping kesayanganku aku berjalan melawan derasnya air yang mengucur dari awan yang benar-benar gelap. Ditengah langkah dan detak jantung aku yang begitu menakutkan, aku melihat Teddy dan Uci tengah berdua di antara semak belukar, namun aku hanya diam dan meninggalkan mereka begitu saja malam itu. Aku takut, aku merasa muak melihat semua itu. Aku mencintai Teddy begitu mencintainya begitu juga sebaliknya Teddy juga nampaknya mencintaiku. Tapi malam itu ia kandaskan semuanya. Setelah lulus Ujian aku dengar Uci hamil di luar nikah dan hal yang benar-benar menghempas relung hatiku adalah yang menghamili Uci adalah Teddy.
Malam ini aku hanya ingin menangis seorang diri. Rasanya begitu sulit melupakan pria itu. Dan hal yang benar-benar lebih menusuk-nusuk relung hatiku, setelah pernikahan mereka menginjak tiga bulan, Uci mengalami keguguran. Teddy berulang kali meminta kita rajut kembali jalinan asmarah kita, tapi aku tidak mungkin menerima semua itu.
Aku sudah menikah dengan Hans, pria yang sama sekali tidak aku cintai. Biarlah, Tuhan telah menuntun jalan hidupku untuk bahagia bersamanya.
Aku merasakan kepedihan yang Tante Laura rasakan. Itu sebabnya Ayah begitu menyayangi Charron, bahkan lebih sering ayah belain Charron mati-matian jika jail padaku. Aku benci semua ini harus terjadi. Inikah alasan ayah selalu membenciku? Apa salahku hingga ia selalu perlakukan aku seperti robotnya?? Kenapa dulu ayah melakukan hal bodoh itu? Bersama Ibu bukannya bersama tante Laura. Aku begitu marah pada semua kenyataan ini.
Aku lemparkan buku itu kearah ilalang tak jauh dari rumah pohon. Aku puaskan diriku untuk mengis malam itu. Hingga rasa lelah hari itu menuntun aku menutup mata dan terlelap lebih cepat. Aku biarkan angin malam yang nakal akan mempermainkan helaian rambutku.
***
“Richa, bangun sayang.”
Suara itu membuat mataku terbuka begitu beratnya.
“Ibu.” Kataku melihat sosok orang yang paling aku sayang membukakan tirai dan membiarkan cahaya pagi menyapaku.
Apa yang harus aku katakan akan fakta yang aku temukan kemarin. Akankah rasa ini harus selalu ku simpan? Aku tidak sanggup untuk hadapi hari ini dengan semua ini. Semua nampak gila dan tidak masuk akal.
***
Aku tatap Charron yang baru saja pulang dari rumah temannya. Aku melihati langkah dia yang makin mendekati rumah yang terletak tidak jauh dari rumahku.
“Charron, semoga kamu bisa membuka tabir masa lalu dan memperbaiki hubungan aku dengan ayah. Aku menyayangi ayah, dan aku tidak mau kebodohan itu membuat ayah membenciku.” Kataku menatap punggung Charron yang makin measuki rumah.
Air mataku menetes begitu deras bersama harapan yang tidak akan mungkin. Charron begitu bahagia jika melihat aku menderita dan dimarahi mati-matian oleh ayah.
****
Semenjak kejadian itu aku tidak pernah berusaha untuk merangsang kemarahan Charron dan tidak meladeni setiap apa yang dia tantang kepadaku. Aku hanya diam setiap kali melihat pria itu.
Hingga akhirnya Charron datang mendatangiku di sore hari, aku memang sengaja ingin melihat gulungan ombak yang menyahut-dan menyambutku di kala senja. Aku ingin merasakan ketenangan itu kembali dalam pelukanku.
“Richa.”
Aku menoleh, Charron datang menghampiriku. Aku hanya diam dan kembali memfokuskan pandanganku kearah laut dan cahaya senja yang indah.
“Kamu kenapa sih? Akhir-akhir ini kamu berubah.” Tanya Charron dengan nada berat.
Aku meliriknya dengan mengangkat kedua alisku tinggi-tinggi.
“Richa, pleas dong, aku kangen.”
Ketika itu jantung aku serasa berdebar begitu kencang, dan berasa seperti dihempaskan melayang bersama Charron. Baru kali ini aku melihat pria itu berbicara seperti itu kepadaku.
“Untuk apa kamu merindukanku?” Tanyaku tidak berani menatap kedua bola mata Charron, menatapnya hanya akan menyakitkan.
“Richa, aku tahu kamu begitu membenciku sedari kecil, tapi aku tidak pernah berusaha untuk membuatmu menangis karenaku. Setiap kali kamu menangis aku tidak pernah tega melihatnya, aku sering membuntutimu jika kamu menangis di rumah pohon. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk merusak rumah pohon itu.”
“Apa?” kataku menatapnya kesal. Ternyata dia yang merusak rumah pohonku? Tega sekali Charron lakukan itu.
“Maaf, aku sengaja, karena aku ingin kamu menangis dipundakku, agar aku dapat mengurangi beban di dadamu.” Charron menatapku dengan tatapan penuh kasih.
Aku masih tidak bisa mencerna apa yang Charron katakan.
“Aku mencintaimu Ric, aku ingin selalu disamping kamu. Aku ingin menjagamu.” Kata Charron meraih tanganku.
Apa ini yang Tuhan rencankan? Apa ini sebuah suratan takdir. Tanpa Charron sadari aku juga begitu menyayanginya. Walau dia sering kali menyayat hatiku.
Apa dengan hubungan aku dan Charron hubungan persahabatana ayah, ibu dan tante Laura dapat kembali baik? Apa yang akan ku temui setelah ini.
Aku menatap Charron dengan senyuman.” Aku juga mencintaimu.”
Tepat ketika itu mentari mulai menghilang hanya tersisa cahaya yang begitu indah terpantul di air laut yang mulai tenang dengan ombak yang lembut menerpa jemari kakiku.


---- T H E  E N D ---

2 comments:

  1. Haris Nurdianto

    bahasa yang digunakan baik sekali, namun saya merasa terlalu banyak penjabaran pada awalnya sehingga belum memasuki inti cerita sudah membuat pembacanya kabur.
    (Itu yg sy rasakan)

  1. Heni Puwaningsih

    Terimakasih mas Haris atas masukannya dan waktunya mengunjungi blog saya

    Akan saya perbaiki

    Salam

Post a Comment

Comments