Oleh : Heni Purwaningsih
Aku biarkan air hujan menetes membasahi wajahku, akan
aku biarkan butir-butir yang terhempas angin serasa menusuk-nusuk kulitku
hingga masuk kedalam tulang. Aku hanya ingin sendiri dan menangis disini.
Merasakan semuanya menjadi ketidak mungkinan.
Serasa lelah langkah ini terus dipaksa. Akan kemanapun
tidak akan menjadi mungkin. Karena baginya aku adalah sebuah robot, suatu objek
pelampiasan kehidupannya dimasa lalu. Inginku terobos setiap lorong waktu. Kembali
kemasalalu dan ku pinta Tuhan tidak pernah ciptakan aku di dunia.
Bolehkah?
Tidak, itu hanya ketidak mungkinan yang aku harapkan. Aku
berjalan menembus tirai hujan yang nampak menertawakan kepedihanku. Meranapi
jalan kehidupan yang bagiku seperti menapakkan kaki diatas bara api yang
menjilat-jilat. Air mataku kembali menetes. Mengingat deretan lemar kehidupan
yang tidak ingin aku lihat kembali. Aku terus berjalan dengan langkah yang
mulai gemetar.
Angin berhembus, kilat menyambar dan Guntur
menggelegar. Aku tarik napasku panjang. Semoga Tuhan tidak menghanguskan aku
dalam beberapa detik karena sambaran petir.
Dipenghujung jalan aku temui seberkas cahaya
melingkar. Entah cahaya apa itu. Aku melihati dengan jantung berdebar dan rasa
penasaran yang memeluk relung jiwaku hingga aku lupa akan rasa dingin serta
sesak yang sedari tadi menggeluti jiwaku.
Aku melangkah perlahan, mendekati berkas cahaya yang
mirip seperti cahaya matahari diantara awan mendung. Namun cahaya itu ada di
penghujung jalan yang mungkin masih ada jalan rahasia menuju kesana. Aku
terhenti sejenak sembari menggosok-gosokkan kedua telapak tanganku. Baju basah
kuyup membuat rasa dingin begitu terasa.
Tiba-tiba saja, kaki kanan dan tangan kananku serasa
ditarik medan magnet yang begitu kuat kearah berkas cahaya melingkar itu. Aku
berteriak dan merontah-rontah, bersama tubuh yang terseret masuk kedalam berkas
cahaya itu.
Tarikan tersebut begitu kencang menarik tubuhku. Tidak
banyak yang dapat aku rasakan hanya seperti menuju sebuah lorong yang gelap
beberapa menit hanya aku habiskan untuk berteriak sembari merasakan detak
jantung yang terus berdenyut makin kencang, napaspun serasa susah untuk aku
lakukan kala itu.
Pluk
Tubuhku serasa terlempar begitu saja dari lorong gelap
yang menyesakkan dada. Aku rasakan mentari bersinar begitu cerah menghangatkan
tubuhku yang terasa beku sebelumnya. Debar jantungku terdengar begitu memilukan
di tengah kicauan burung yang kian ramai mewarnai birunya langit dengan awan
putih yang nampak halus.
Aku berjalan di jalan setapak berkerikil dengan disisi
kanan dan kiri berupa semak belukar dan alang-alang yang menjalar menghalangi
langkahku. Beberapa aku hampir saja terjatuh ketika mendapati beberapa serangga.
Sebenarnya aku ada dimana? Kataku sembari terus
memerintahkan mataku untuk mengawasi keadaan disekitarku.
Tidak banyak hal yang aku rasakan di tempat asing ini,
namun rasanya aku begitu mengenal tempat aneh ini. Aku mencoba mengingat. Namun
tidak berhasil, karena di sekitarku hanya ada tanah yang begitu luas dan penuh
dengan alang-alang yang menjalar tidak beraturan.
Aku istirahatkan tubuhku di bawah pohon mangga yang
rindang. Perjalanan panjang apa aku lakukan hingga terjebak pada tempat yang membuat
aku merasa terasingkan. Dimana rumah ayahku? Dimana sekolah, teman dan
semuanya? Menghilang? Bersama lorong yang membuat aku bingung?
Aku tutup wajahku dengan kedua tanganku, membuiarkan
air mata kembali menghujan begitu deras.
Pluk
“Au….” Aku berteriak kesakitan setelah ku rasakan
timpukan batu kecil dari atas pohon mangga.
Mataku terus mencari-cari orang yang berani menipuk
aku dari atas. Disela-sela mulut aku yang mulai komat-kamit kesal, suara tawa
terdengar dari atas.
“Ih, siapa sih nakal banget.”
Suara tawa itu makin membuat darah aku mendidih. Aku
tarik napasku panjang dan aku buang melalui mulut.
“Jangan marah-marah, cepet tua nanti.” Kata seorang
pria kecil turun dari balik ranting-ranting pohon mangga.
Mataku mengikuti gerakan kaki pria kecil aku. Tapi…
Sosok pria kecil berusia sekitar lima tahun itu.
Mata aku menatapnya tanpa kedip.
Cherron, dia
sosok pria yang paling aku benci karena kejailannya.
Aku benar-benar tidak dapat berfikir secara nalar
karena sederet fakta yang aku temukan membuat pikiranku menggila.
“Hay, mbak kok diam sih.” Charron melambaikan
tangannya tepat di depan wajahku.
Jantung aku serasa berdetak cepat. Charron pun
berjalan menjauh, perlahan dengan langkah riangnya. Ketapel kesayangan Charron
nampak dipermainkan seiring langkahnya.
“Charron.” Panggilku.
Charron menoleh ke arahku.
Aku terdiam dan menggigit bibirku dengan kesal. Kenapa
aku harus memanggil nama pria menyebalkan itu.
“Kok mba tau namaku?” Charron menatapku heran.
Aku diam tanpa bisa menjawab dan hanya berdiri
mematung. Apa yang harus aku katakana kepada Charron. Aku diam dan hanya diam.
Sampai tidak lama dari itu sosok kecil aku. Richa, ya Tuhan apa yang terjadi
saat ini.
Richa kecil datang dengan air mata tertetes di
pipinya, aku diam dan berusaha mengumpat dibalik pohon mangga yang masih belum
jauh dari langkahku. Aku kecilkan tubuhku supaya tidak terlihat.
Charron nampak mencari sosok aku. Masih aku ingat
benar, kejadian dua belas tahun yang lalu. Charron memang sengaja membuat aku
menangis dengan mempermalukan aku di depan teman-teman dan Charron mencari
pohon untuk tempat persemubunyian. Dari kecil aku dan Charron tidak pernah
akur. Dan tidak akan pernah. Mulutku mulai mengguming sendiri dibalik pohon
yang nampaknya berhasil membuat Charron tidak menemukan sosokku.
****
Aku berjalan tanpa tujuan namun kakiku menuntun aku
menuju rumah kecil orang tuaku yang berada di perumahan. Tapi tiba-tiba saja
langkah aku terhenti ketika aku mendapati Ayah bercakap-cakap indah bersama ibu
Charron. Mereka terlihat begitu akrab dan terjalin obrolan yang hangat. Aku
mencoba untuk menajamkan pendengaranku. Dibalik tembok pagar salah satu rumah aku
duduk melihati gerak-gerik mereka berdua.
“…..”
Mereka nampak tertawa terbahak-bahak.
Aku merasa kesal pada diriku sendiri karena obrolan
mereka. Aku terduduk lemas di pagar tembok tersebut. Aku rasakan butir-butir
udara senja terasa begitu menyentuh menenangkanku. Terdengar kembali tawa riang
dari Richa dan Charron dari ujung jalan setapak. Aku melihati mereka dengan
pandangan iri, rasanya aku ingin menjadi Richa kecil kembali.
Mentari nampak akan tenggelam di ufuk barat dengan
cahaya penuh kedamaian, langit nampak keorensnan dengan burung-burung saling
berbaris membentuk pola bersama kelompoknya pulang kembali ke saranggar mereka.
Tidak terasa butir air mataku kembali menghujan.
“…..”
“Itu hanya masalalu…..” Terdengar suara bentakan
seorang pria dan satu lembaran sebuah buku diary tebal terlempar ke arahku.
Aku tersentak kaget aku tatapi buku itu dengan ribuan
rasa penasaran, buku itu nampak sudah lama tersimpan. Yang membuat jantungku
berdebar kencang adalah aku baru menyadari bahwa yang tengah debat mulut adalah
Tante Laura dan Um Hans orang tua dari Charron.
Ada rahasia apa dibalik diary yang dilemparkan Um Hans.
Aku peluk erat buku itu di dadaku. Kembali aku
langkahkan kaki menjauh dari rumah Um Hans.
Aku duduk di rumah pohon yang terletak tidak jauh dari
rumah ku. Rumah pohon itu memang menjadi rumah pelarianku. Berlari dari amarah
ayah yang membuat aku selalu menangis. Sampai aku dewasa ayah masih saja marah
kepadaku, entah apa yang memicu kemarahannya. Aku hanya merasa apa yang aku
lakukan selalu salah dimatanya. Aku bak robot dalam kehidupannya yang dapat
dipermainkan kapan saja.
Aku tatap titik-titik bintang yang tengah bersinar
disana. Menghiasi langit gelap. Aku baringkan tubuhku di rumah pohon sembari
menatap bintang-bintang diangkasa. Angin malam yang dingin kembali menerpa
tubuhku.
Aku buka lembar pertama buku diary yang terlempar
kearahku. Betapa kagetnya aku, dihalaman pertama diary itu adalah foto ayah dan
tante Laura sewaktu duduk dibangku SMA. Mereka nampak begitu mesrah di foto
itu, dengan menaiki sepeda ontel senyum melebar diantara wajah keduanya. Aku
buka kembali lembar kedua dan berikutnya.
Air mataku menetes saat membaca tulisan dihalaman
hampir dibelakang.
13 Mei 1985
Persahabatan
aku, Teddy dan Uci benar menuju puncak kehancuran. Penghianatan persahabatan.
Semua membuatku tidak dapat memendam lebih jauh rasa indah yang hadir begitu
saja bersama Teddy. Aku kira Uci tidak mencintai Teddy tapi….
Betapa
seperti dihempas jauh kedalam neraka harapan dan janji bersama Teddy kandas
begitu saja hanya karena ketololan Teddy. Ia lepas control,malam itu aku
berjalan ditengah derasnya hujan, dengan menggunakan payung ping kesayanganku
aku berjalan melawan derasnya air yang mengucur dari awan yang benar-benar
gelap. Ditengah langkah dan detak jantung aku yang begitu menakutkan, aku
melihat Teddy dan Uci tengah berdua di antara semak belukar, namun aku hanya
diam dan meninggalkan mereka begitu saja malam itu. Aku takut, aku merasa muak
melihat semua itu. Aku mencintai Teddy begitu mencintainya begitu juga
sebaliknya Teddy juga nampaknya mencintaiku. Tapi malam itu ia kandaskan
semuanya. Setelah lulus Ujian aku dengar Uci hamil di luar nikah dan hal yang
benar-benar menghempas relung hatiku adalah yang menghamili Uci adalah Teddy.
Malam ini
aku hanya ingin menangis seorang diri. Rasanya begitu sulit melupakan pria itu.
Dan hal yang benar-benar lebih menusuk-nusuk relung hatiku, setelah pernikahan
mereka menginjak tiga bulan, Uci mengalami keguguran. Teddy berulang kali
meminta kita rajut kembali jalinan asmarah kita, tapi aku tidak mungkin
menerima semua itu.
Aku sudah
menikah dengan Hans, pria yang sama sekali tidak aku cintai. Biarlah, Tuhan telah
menuntun jalan hidupku untuk bahagia bersamanya.
Aku merasakan kepedihan yang Tante Laura rasakan. Itu
sebabnya Ayah begitu menyayangi Charron, bahkan lebih sering ayah belain
Charron mati-matian jika jail padaku. Aku benci semua ini harus terjadi. Inikah
alasan ayah selalu membenciku? Apa salahku hingga ia selalu perlakukan aku
seperti robotnya?? Kenapa dulu ayah melakukan hal bodoh itu? Bersama Ibu
bukannya bersama tante Laura. Aku begitu marah pada semua kenyataan ini.
Aku lemparkan buku itu kearah ilalang tak jauh dari
rumah pohon. Aku puaskan diriku untuk mengis malam itu. Hingga rasa lelah hari
itu menuntun aku menutup mata dan terlelap lebih cepat. Aku biarkan angin malam
yang nakal akan mempermainkan helaian rambutku.
***
“Richa, bangun sayang.”
Suara itu membuat mataku terbuka begitu beratnya.
“Ibu.” Kataku melihat sosok orang yang paling aku
sayang membukakan tirai dan membiarkan cahaya pagi menyapaku.
Apa yang harus aku katakan akan fakta yang aku temukan
kemarin. Akankah rasa ini harus selalu ku simpan? Aku tidak sanggup untuk hadapi
hari ini dengan semua ini. Semua nampak gila dan tidak masuk akal.
***
Aku tatap Charron yang baru saja pulang dari rumah
temannya. Aku melihati langkah dia yang makin mendekati rumah yang terletak
tidak jauh dari rumahku.
“Charron, semoga kamu bisa membuka tabir masa lalu dan
memperbaiki hubungan aku dengan ayah. Aku menyayangi ayah, dan aku tidak mau
kebodohan itu membuat ayah membenciku.” Kataku menatap punggung Charron yang
makin measuki rumah.
Air mataku menetes begitu deras bersama harapan yang tidak
akan mungkin. Charron begitu bahagia jika melihat aku menderita dan dimarahi
mati-matian oleh ayah.
****
Semenjak kejadian itu aku tidak pernah berusaha untuk
merangsang kemarahan Charron dan tidak meladeni setiap apa yang dia tantang
kepadaku. Aku hanya diam setiap kali melihat pria itu.
Hingga akhirnya Charron datang mendatangiku di sore
hari, aku memang sengaja ingin melihat gulungan ombak yang menyahut-dan
menyambutku di kala senja. Aku ingin merasakan ketenangan itu kembali dalam
pelukanku.
“Richa.”
Aku menoleh, Charron datang menghampiriku. Aku hanya
diam dan kembali memfokuskan pandanganku kearah laut dan cahaya senja yang
indah.
“Kamu kenapa sih? Akhir-akhir ini kamu berubah.” Tanya
Charron dengan nada berat.
Aku meliriknya dengan mengangkat kedua alisku
tinggi-tinggi.
“Richa, pleas dong, aku kangen.”
Ketika itu jantung aku serasa berdebar begitu kencang,
dan berasa seperti dihempaskan melayang bersama Charron. Baru kali ini aku
melihat pria itu berbicara seperti itu kepadaku.
“Untuk apa kamu merindukanku?” Tanyaku tidak berani
menatap kedua bola mata Charron, menatapnya hanya akan menyakitkan.
“Richa, aku tahu kamu begitu membenciku sedari kecil,
tapi aku tidak pernah berusaha untuk membuatmu menangis karenaku. Setiap kali
kamu menangis aku tidak pernah tega melihatnya, aku sering membuntutimu jika
kamu menangis di rumah pohon. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk merusak
rumah pohon itu.”
“Apa?” kataku menatapnya kesal. Ternyata dia yang
merusak rumah pohonku? Tega sekali Charron lakukan itu.
“Maaf, aku sengaja, karena aku ingin kamu menangis
dipundakku, agar aku dapat mengurangi beban di dadamu.” Charron menatapku
dengan tatapan penuh kasih.
Aku masih tidak bisa mencerna apa yang Charron
katakan.
“Aku mencintaimu Ric, aku ingin selalu disamping kamu.
Aku ingin menjagamu.” Kata Charron meraih tanganku.
Apa ini yang Tuhan rencankan? Apa ini sebuah suratan
takdir. Tanpa Charron sadari aku juga begitu menyayanginya. Walau dia sering
kali menyayat hatiku.
Apa dengan hubungan aku dan Charron hubungan
persahabatana ayah, ibu dan tante Laura dapat kembali baik? Apa yang akan ku
temui setelah ini.
Aku menatap Charron dengan senyuman.” Aku juga
mencintaimu.”
Tepat ketika itu mentari mulai menghilang hanya
tersisa cahaya yang begitu indah terpantul di air laut yang mulai tenang dengan
ombak yang lembut menerpa jemari kakiku.
---- T H E E N
D ---
August 28, 2012 at 3:29 PM
bahasa yang digunakan baik sekali, namun saya merasa terlalu banyak penjabaran pada awalnya sehingga belum memasuki inti cerita sudah membuat pembacanya kabur.
(Itu yg sy rasakan)