Oleh : Heni Purwaningsih
Terlalu sering aku bertatap kearah cermin. Entah apa yang
aku rasa, apa yang aku lihat, selalu sama setiap harinya KOSONG. Detak
jantungku terasa berhenti bergetar. Sesaat aku mengingat tragedi lima tahun
yang lalu. Begitu perih goresan tinta hitam itu, menyayat, mencabik, hingga ku
lemas dalam satu keadaan.
Setiap hari aku berharap aku dapat berjalan seimbang
dipunggung bumi yang kian batuk-batuk dan menua. Aku takut saat kematian akan
datang menjemput. Saat sang malaikat menghampiri aku bak cermin perilakuku di
bumi. Malaikat itu bisa terlihat begitu indah, kalau amalnya baik begitu juga
sebaliknya. Tapi kematian adalah hal yang menyakitkan, rasa sakit saat ruh
mulai keluar dari jazat. Entah dan seperti apa rasanya. Aku tahu semua manusia,
makhluk bahkan semua pengisi jagad raya ini akan merasakannya. Termasuk aku,
kamu, mereka dan siapapun.
Ibu selalu bilang, kalau masa lalumu begitu suram jangan
kau toleh kembali ke belakang. Hadapi masa depanmu dengan secarik senyummu, apapun
itu, harus dihadapi bukan untuk dihindari. Kata-kata itu selalu terputar dalam
benakku setiap kali melangkah.
Hari kemarin, mentari masih tampak di ufuk timur, dia masih
cantik disana. Hari ini mentari pun masih setia terbit dari ufuk timur, namun
apakah esok akan sama? Lusa? Bulan depan? Tahun depan? Atau seratus tahun yang
akan datang? Ia akan berkelok terbit dari ufuk barat? Menandakan hari akhir
semakin dekat? Entahlah masih jadi rahasia Tuhan. Tak ada seorangpun yang dapat
memprediksi hari akhir, sehebat apapun beliau. Dibuat malaikan yang bertugas
meniupkan sangkakala dihari akhir saja tak mengetahuinya, apa lagi manusia yang
tak punya daya. Yang harus dilakukan hanya berkoreksi diri sendiri. Meyakini
dan mengimani.
***
Aku memang selalu diam, tanpa bahasa. Bahkan kadang aku
bingung akan apa yang aku pikirkan, apa yang aku rasakan. Aku ingin seperti
pelangi, ia begitu anggun dan cantik sesaat setelah hujan merontah-rontah,
namun keindahannya hanya dapat dirasakan sementara. Setelah itu hilang. Aku
berpikir kembali, aku tak ingin menjadi pelangi. Dan aku berpikir ulang, untuk
apa aku menjadi diri orang lain kalau aku sendiri nyaman menjadi diriku
sendiri.
Masa lalu memang tak dapat di putar kembali walau hanya
sedetik, walau hanya sesaat, dibayar berapapun tak akan bisa. Aku yakin Allah
masih bersamaku, mengiringi setiap langkah perbuatanku, Allah tak pernah tidur.
Aku tahu karena saat tidur ibu selalu mengajariku untuk berdoa agar
malaikat-malaikat Allah menjagaku saat tidur. Kalian percaya? Simpan jawaban
kalian dihati.
***
Hari itu aku berjalan menyusuri jalan setapak, penuh lumpur
dan licin. Karena hujan mengguyur pelataran kota cukup panjang hingga aku
berhenti sejenak di halte bus sebelum melanjutkan langkahku menuju surgaku di
dunia ( rumah mungil).
Rumah itu menyimpan berjuta kenangan indah hingga aku tak
mampu dan rela untuk menjualnya. Walau ayah dan ibu telah berpulang
kepangkuan-Nya. Lima tahun yang lalu. Hari itu adalah hari yang teramat sangat
aku benci.
Hari itu hujan turun begitu lebatnya. Petir menyambar,
angin menyapu setiap dedaunan bahkan menumbangkan pohon di lengan jalan. Lampu
berkali-kali mati-nyala-mati-nyala berulangkali membuat aku meringkuk ketakutan
dipangkuan ibu. Tak pernah mencoba aku lepaskan tanganku yang melingkar di tubuhnya.
“Jangan takut sayang, tak akan ada apa-apa.” Kata ibu
lembut.
Aku tahu ibu juga merasa takut, karena detak jantungnya
begitu berdebar kencang. Aku merasakannya tapi ibu berusaha menenangkanku walau
beliau sendiri sudah tak tenang.
“Ibu, apa ini akan berakhir bahagia?”
“Insya Allah sayang. Kau tau, ibu sewaktu kecil pun sama
seperti kamu. Takut saat hujan besar datang bersama petir menyambar.”
“Sampai sekarang ibu masih takut?”
“Tatap mata ibu, kamu jawab apa ibu kelihatan ketakutan?”
Kata Ibu melihatiku dengan tatapan yang begitu aku sukai.
Aku menggelengkan kepalaku dan memeluk kembali tubuh ibu
yang besar. Usiaku saat itu masih tiga belas tahun.
Ibu nyanyikan lagu sholawat hingga aku lupa akan hujan yang
membuatku takut. Dalam pangkuan ibu aku mulai terpejam dalam kedamaian, tak aku
rasakan ketakutan yang menyelimutiku. Bahkan aku sempat bermimpi bersama ibu
menari-nari di suatu taman yang indah, penuh bunga, kupu-kupu, rumput yang
tebal dan hijau, namun langitnya terlihat tak biru namun putih indah dengan
cahaya keorens-nan yang menghiasi. Diayunkannya tubuhku di salah satu ayunan
ditaman itu. Senyum bahagia menembus wajahku dengan indah. Aku memang sudah
bukan lagi anak kecil. Di usiaku yang saat itu menginjak tiga belas tahun ibu
lebih mengajari aku banyak hal. Hingga aku siap menjadi gadis remaja yang
dewasa penuh energi.
Namun senyumanku berubah menjadi tangisan ketakutan, saat
aku melihat ayah berhadapan dengan orang-orang bertubuh kekar memegang pistol
yang cukup besar. Ibu tak membangunkanku namun aku terbangun oleh teriakan ibu
yang terasa menyengat ditelingaku.
“Ibu….” Kataku bergetar tubuh ini dibarengi dengan air mata
yang bercucuran.
“Tenang sayang tak akan ada apa-apa.”
Ayah terus bercakap-cakap dengan pria-pria bertubuh kekar
itu, ada tiga pria di muka pintu rumah kami. Aku sesekali melihat dari balik
jemari ibu yang menutup mataku.
“Ibu aku takut.”Kataku semakin kuat dan menegang.
“Sayang apapun yang terjadi kita harus menghadapinya.” Kata
ibu mengelus rambutku dengan sebelah tangannya.
Aku merasakan ketegangan diantara ayah dan pria-pria itu.
“Sudahlah kau serahkan saja amplop itu. Kalau tidak matilah
kau.” Kata salah satu pria dengan suara menggelegar.
Aku makin kuat memeluk tubuh ibu.
“Percayalah amplop itu bukan saya yang mengambilnya. Saya
memang menemukannya tapi tak saya bawa pulang.” Kata Ayah dengan suara
bergetar.
“Kalau tak ada kenapa di tumpukan sampah tempat kami
membuangnya tidak ada.” Kata pria bertubuh kekar itu makin marah.
Ayah mencoba untuk menjelaskannya. Namun tak mampu membuat
puas para pria itu. Diobrak-abriknya rumah kami. Dari ruang tamu, kamar hingga
dapur bahkan kamar mandi.
Aku tak mengerti akan apa yang mereka cari. Hujan masih
belum berhenti, seakan tak ingin tahu menambah ketegangan dihatiku. Klibatan
petir berulangkali mengkilap dilangit dan menimbulkan suara bergelegar. Aku
makin bergetar saat salah satu pria bertubuh kekar itu menghampiriku dan ibu.
“Wah lumayan juga istri dan anakmu, cantik-cantik.”
Ibu mencoba untuk melangkah mundur dibarengi dengan langkahku.
Ayah mencoba untuk melindungi kami. Namun tak lama, bos mereka datang dengan
wajah yang jauh lebih sangar daripada anak buahnya.
“Jangan banyak cingcong kamu. Tunjukkan amplop itu.” Kata
bosnya begitu keras ke arah muka ayah.
Pikiranku mulai melayang. AMPLOP, sebelumnya aku pernah
menemukan amplop itu di kasur milik ayah. Amplop itu berisi dokumen rahasia,
ada kaset DVD didalamnya. namun sebelum ayah mengingatnya kembali aku letakkan
amplop itu di kotak rahasiaku yang aku letakkan di dalam tanah di kamarku.
Nyatanya merek tak menemukannya. Ada satu kramik di kamarku yang aku bongkar
dan aku lubangi. Untuk aku kasih kotak rahasia itu. Ibu tahu akan kotak itu
namun ayah tidak. Dari kecil ibu dan aku selalu meletakkan uang untuk tabungan
dikotak rahasia itu.
***
Suasana makin menegang ayah makin di tekan. Aku ingin
sekali menunjukkan kotak itu tapi tak aku bulatkan. Aku diam di pelukkan ibu.
Tubuh ayah di angkatnya oleh salah satu pria tubuh kekar
itu. Satu tonjokkan melayang dirahang ayah. Ayah mengerang kesakitan. Darah
keluar dari mulutnya. Ibu menangis diiringi dengan tangisanku.
“Ibu..” Kataku sedikit berbisik.
Ibu tak menjawab. Ia makin erat memegangiku. Perlahan ibu
mulai memundurkan langkahnya, aku pun mengikuti langkahnya perlahan. Aku tahu
apa yang ibu pikirkan. Kita harus cari pertolongan. Namun nampaknya tetangga
kami yang berjauhan tak ingin lebih jauh terlibat. Hingga akhirnya kami
berhasil keluar dari rumah. Kita meninggalkan ayah. Rasa nyiris begitu terasa
di dadaku.
“Ibu ayah bagaimana?” Kataku menatap ibu ditengah guyuran
hujan.
“Ayah akan baik-baik saja, kita lari sebelum mereka
mengetahui jejak kita.”
Namun sungguh malang nasib aku dan ibu. Salah seorang anak
buah bos itu mengejar kita. Langkahnya yang lebar membaut cepat menangkap kita.
Tapi tak sampai disitu. Aku dan ibu terus berlari dengan tenaga seadanya.
Menembus celah-celah tetes hujan yang masih besar. Langkah
aku mulai melemas. Begitu juga dengan ibu. Sudah beberapa kali kami terjatuh.
Pria itu mulai gerang. Dan akhirnya menembakkan bilahan peluru di pistolnya
hampir mengenai aku namun dengan sigap ibu menghalangi aku dengan tubuhnya.
Peluru itu menembus dada sebelah kiri ibu. Ibu mengerang kesakitan. Aku
menangis melihat ibu.
“Ibu…” Teriakanku di barengi dengan cucuran air mataku.
“Eh pria gila awas kamu tunggu pembalasanku.” Kataku kesal.
Pria itu tertawa sengit. Menatapku dengan tatapan kesal
pula.
“Nak lari lah. Jangan kau hiraukan ibu disini. Apapun yang
terjadi kamu harus menghadapinya. Ibu sayang kamu.” Kata ibu dengan suara tersedat-sedat
menahan sakit.
“Tapi bu… Lena tak mungkin meninggalkan ibu dalam keadaan
seperti ini.”
“Jangan hiraukan ibu, sebelum pria itu mulai marah
kepadamu.”
Aku sempat ragu meninggalkan ibu sendiri namun benar saja
pria itu makin mendekat. Aku kecup kening ibu dan aku lepaskan genggamanku dari
tangan ibu. Dengan hati teriris-iris aku berlari sepanjang jalan, melewati
rerumputan. Berkelok, berlari diantara gang-gang sempit, hingga akhirnya pria
itu tak dapat menemukan jejakku.
Aku duduk tak berdaya disalah satu toko yang tertutup. Air
mataku terus bercucuran, aku genggam erat selendang yang ibu berikan tadi. Rasa
ini benar-benar membuat napasku sesak. Rasa dingin pun terus menusuk-nusuk
sekujur tubuhku.
***
Saat aku pulang ke rumah dengan langkah lemas. Ibu dan Ayah
ditemukan sudah tidak bernyawa di dalam rumah dengan mayat berjejer. Rumah pun
dalam keadaan yang begitu rancuh. Ku lihat kedua tubuh mereka dengan linangan
air mata yang benar-benar tak dapat aku bendung. Aku layangkan jemariku ke
wajah mereka satu persatu.
Tubuh mereka bersimbah darah di bagian tubuhnya. Ayah yang
paling parah. Sejak itu aku hidup seorang diri. Hal yang sudah membuat hatiku
lega adalah orang-orang yang telah membunuh kedua orang tuaku telah ditangkap
oleh polisi. Setelah aku melaporkan kejadian itu dan aku serahkan amplop yang
mereka cari di rumahku. Ternyata amplop itu berisi tentang perjanjian dengan
seseorang mengenai rencana pembunuhan dan perampokan bank. Mereka mafia yang
cerdas, namun salah seorang rekannya merekam kejadian yang begitu mengenaskan.
Dan berhasil mengambil berkas-berkas itu.
Berkas itu dicari-cari hingga yang merekam dan berusaha
melapor menjatuhkan amplop itu di tumpukan sampah. Ayahku yang menemukannya.
Saat menemukannya salah seorang mafia itu melihat ayah namun ayah berusaha tak
tahu dan tenang untung mereka tak curiga. Lama-lama mereka mulai mencurigai
ayah dan mencari rumah ayah.
***
Aku tatap rumah yang sekarang hanya aku huni sendiri itu
dengan tatapan yang sayu. Ibu dan Ayah memang sudah tidak lagi menemani jazat
dan ragaku. Namun jiwa mereka selalu bersamaku. Akan aku hadapi hari esok
dengan tegar. Setegar mentari bersinar menghangatkan bumi.
Walau terkadang tragedi itu selalu hadir dalam pikiranku.
Ingin rasanya aku dapat menghapusnya namun goresann itu terlalu dalam hingga
aku tak dapat menghapusnya dengan cara apapun, dengan usaha apapun. Yang harus
aku lakukan adalah menata kehidupanku kembali. Aku tak sendiri di dunia ini.
Allah masih memberiku kesempatan untuk dapat menikmati dan mensyukuri kekuasaan-Nya.
Aku percaya roda kehidupan masih berputar. Maka aku harus
siap. Setelah gelap pasti ada terang. Ada hitam juga ada putih. Ada masa lalu
juga ada masa yang akan datang. Hal yang musti kita takuti adalah saat kita
bertemu Sang Pemberi Hidup kita dalam keadaan kotor.
—- T HE END —-
Post a Comment