Goresan Tinta di istana Kecilku

Posted Thursday, August 9, 2012 by Heni Puwaningsih

Oleh : Heni Purwaningsih

Terlalu sering aku bertatap kearah cermin. Entah apa yang aku rasa, apa yang aku lihat, selalu sama setiap harinya KOSONG. Detak jantungku terasa berhenti bergetar. Sesaat aku mengingat tragedi lima tahun yang lalu. Begitu perih goresan tinta hitam itu, menyayat, mencabik, hingga ku lemas dalam satu keadaan.


Setiap hari aku berharap aku dapat berjalan seimbang dipunggung bumi yang kian batuk-batuk dan menua. Aku takut saat kematian akan datang menjemput. Saat sang malaikat menghampiri aku bak cermin perilakuku di bumi. Malaikat itu bisa terlihat begitu indah, kalau amalnya baik begitu juga sebaliknya. Tapi kematian adalah hal yang menyakitkan, rasa sakit saat ruh mulai keluar dari jazat. Entah dan seperti apa rasanya. Aku tahu semua manusia, makhluk bahkan semua pengisi jagad raya ini akan merasakannya. Termasuk aku, kamu, mereka dan siapapun.
Ibu selalu bilang, kalau masa lalumu begitu suram jangan kau toleh kembali ke belakang. Hadapi masa depanmu dengan secarik senyummu, apapun itu, harus dihadapi bukan untuk dihindari. Kata-kata itu selalu terputar dalam benakku setiap kali melangkah.
Hari kemarin, mentari masih tampak di ufuk timur, dia masih cantik disana. Hari ini mentari pun masih setia terbit dari ufuk timur, namun apakah esok akan sama? Lusa? Bulan depan? Tahun depan? Atau seratus tahun yang akan datang? Ia akan berkelok terbit dari ufuk barat? Menandakan hari akhir semakin dekat? Entahlah masih jadi rahasia Tuhan. Tak ada seorangpun yang dapat memprediksi hari akhir, sehebat apapun beliau. Dibuat malaikan yang bertugas meniupkan sangkakala dihari akhir saja tak mengetahuinya, apa lagi manusia yang tak punya daya. Yang harus dilakukan hanya berkoreksi diri sendiri. Meyakini dan mengimani.
***
Aku memang selalu diam, tanpa bahasa. Bahkan kadang aku bingung akan apa yang aku pikirkan, apa yang aku rasakan. Aku ingin seperti pelangi, ia begitu anggun dan cantik sesaat setelah hujan merontah-rontah, namun keindahannya hanya dapat dirasakan sementara. Setelah itu hilang. Aku berpikir kembali, aku tak ingin menjadi pelangi. Dan aku berpikir ulang, untuk apa aku menjadi diri orang lain kalau aku sendiri nyaman menjadi diriku sendiri.
Masa lalu memang tak dapat di putar kembali walau hanya sedetik, walau hanya sesaat, dibayar berapapun tak akan bisa. Aku yakin Allah masih bersamaku, mengiringi setiap langkah perbuatanku, Allah tak pernah tidur. Aku tahu karena saat tidur ibu selalu mengajariku untuk berdoa agar malaikat-malaikat Allah menjagaku saat tidur. Kalian percaya? Simpan jawaban kalian dihati.
***

Hari itu aku berjalan menyusuri jalan setapak, penuh lumpur dan licin. Karena hujan mengguyur pelataran kota cukup panjang hingga aku berhenti sejenak di halte bus sebelum melanjutkan langkahku menuju surgaku di dunia ( rumah mungil).
Rumah itu menyimpan berjuta kenangan indah hingga aku tak mampu dan rela untuk menjualnya. Walau ayah dan ibu telah berpulang kepangkuan-Nya. Lima tahun yang lalu. Hari itu adalah hari yang teramat sangat aku benci.
Hari itu hujan turun begitu lebatnya. Petir menyambar, angin menyapu setiap dedaunan bahkan menumbangkan pohon di lengan jalan. Lampu berkali-kali mati-nyala-mati-nyala berulangkali membuat aku meringkuk ketakutan dipangkuan ibu. Tak pernah mencoba aku lepaskan tanganku yang melingkar di tubuhnya.
“Jangan takut sayang, tak akan ada apa-apa.” Kata ibu lembut.
Aku tahu ibu juga merasa takut, karena detak jantungnya begitu berdebar kencang. Aku merasakannya tapi ibu berusaha menenangkanku walau beliau sendiri sudah tak tenang.
“Ibu, apa ini akan berakhir bahagia?”
“Insya Allah sayang. Kau tau, ibu sewaktu kecil pun sama seperti kamu. Takut saat hujan besar datang bersama petir menyambar.”
“Sampai sekarang ibu masih takut?”
“Tatap mata ibu, kamu jawab apa ibu kelihatan ketakutan?” Kata Ibu melihatiku dengan tatapan yang begitu aku sukai.
Aku menggelengkan kepalaku dan memeluk kembali tubuh ibu yang besar. Usiaku saat itu masih tiga belas tahun.
Ibu nyanyikan lagu sholawat hingga aku lupa akan hujan yang membuatku takut. Dalam pangkuan ibu aku mulai terpejam dalam kedamaian, tak aku rasakan ketakutan yang menyelimutiku. Bahkan aku sempat bermimpi bersama ibu menari-nari di suatu taman yang indah, penuh bunga, kupu-kupu, rumput yang tebal dan hijau, namun langitnya terlihat tak biru namun putih indah dengan cahaya keorens-nan yang menghiasi. Diayunkannya tubuhku di salah satu ayunan ditaman itu. Senyum bahagia menembus wajahku dengan indah. Aku memang sudah bukan lagi anak kecil. Di usiaku yang saat itu menginjak tiga belas tahun ibu lebih mengajari aku banyak hal. Hingga aku siap menjadi gadis remaja yang dewasa penuh energi.
Namun senyumanku berubah menjadi tangisan ketakutan, saat aku melihat ayah berhadapan dengan orang-orang bertubuh kekar memegang pistol yang cukup besar. Ibu tak membangunkanku namun aku terbangun oleh teriakan ibu yang terasa menyengat ditelingaku.
“Ibu….” Kataku bergetar tubuh ini dibarengi dengan air mata yang bercucuran.
“Tenang sayang tak akan ada apa-apa.”
Ayah terus bercakap-cakap dengan pria-pria bertubuh kekar itu, ada tiga pria di muka pintu rumah kami. Aku sesekali melihat dari balik jemari ibu yang menutup mataku.
“Ibu aku takut.”Kataku semakin kuat dan menegang.
“Sayang apapun yang terjadi kita harus menghadapinya.” Kata ibu mengelus rambutku dengan sebelah tangannya.
Aku merasakan ketegangan diantara ayah dan pria-pria itu.
“Sudahlah kau serahkan saja amplop itu. Kalau tidak matilah kau.” Kata salah satu pria dengan suara menggelegar.
Aku makin kuat memeluk tubuh ibu.
“Percayalah amplop itu bukan saya yang mengambilnya. Saya memang menemukannya tapi tak saya bawa pulang.” Kata Ayah dengan suara bergetar.
“Kalau tak ada kenapa di tumpukan sampah tempat kami membuangnya tidak ada.” Kata pria bertubuh kekar itu makin marah.
Ayah mencoba untuk menjelaskannya. Namun tak mampu membuat puas para pria itu. Diobrak-abriknya rumah kami. Dari ruang tamu, kamar hingga dapur bahkan kamar mandi.
Aku tak mengerti akan apa yang mereka cari. Hujan masih belum berhenti, seakan tak ingin tahu menambah ketegangan dihatiku. Klibatan petir berulangkali mengkilap dilangit dan menimbulkan suara bergelegar. Aku makin bergetar saat salah satu pria bertubuh kekar itu menghampiriku dan ibu.
“Wah lumayan juga istri dan anakmu, cantik-cantik.”
Ibu mencoba untuk melangkah mundur dibarengi dengan langkahku. Ayah mencoba untuk melindungi kami. Namun tak lama, bos mereka datang dengan wajah yang jauh lebih sangar daripada anak buahnya.
“Jangan banyak cingcong kamu. Tunjukkan amplop itu.” Kata bosnya begitu keras ke arah muka ayah.
Pikiranku mulai melayang. AMPLOP, sebelumnya aku pernah menemukan amplop itu di kasur milik ayah. Amplop itu berisi dokumen rahasia, ada kaset DVD didalamnya. namun sebelum ayah mengingatnya kembali aku letakkan amplop itu di kotak rahasiaku yang aku letakkan di dalam tanah di kamarku. Nyatanya merek tak menemukannya. Ada satu kramik di kamarku yang aku bongkar dan aku lubangi. Untuk aku kasih kotak rahasia itu. Ibu tahu akan kotak itu namun ayah tidak. Dari kecil ibu dan aku selalu meletakkan uang untuk tabungan dikotak rahasia itu.
***
Suasana makin menegang ayah makin di tekan. Aku ingin sekali menunjukkan kotak itu tapi tak aku bulatkan. Aku diam di pelukkan ibu.
Tubuh ayah di angkatnya oleh salah satu pria tubuh kekar itu. Satu tonjokkan melayang dirahang ayah. Ayah mengerang kesakitan. Darah keluar dari mulutnya. Ibu menangis diiringi dengan tangisanku.
“Ibu..” Kataku sedikit berbisik.
Ibu tak menjawab. Ia makin erat memegangiku. Perlahan ibu mulai memundurkan langkahnya, aku pun mengikuti langkahnya perlahan. Aku tahu apa yang ibu pikirkan. Kita harus cari pertolongan. Namun nampaknya tetangga kami yang berjauhan tak ingin lebih jauh terlibat. Hingga akhirnya kami berhasil keluar dari rumah. Kita meninggalkan ayah. Rasa nyiris begitu terasa di dadaku.
“Ibu ayah bagaimana?” Kataku menatap ibu ditengah guyuran hujan.
“Ayah akan baik-baik saja, kita lari sebelum mereka mengetahui jejak kita.”
Namun sungguh malang nasib aku dan ibu. Salah seorang anak buah bos itu mengejar kita. Langkahnya yang lebar membaut cepat menangkap kita. Tapi tak sampai disitu. Aku dan ibu terus berlari dengan tenaga seadanya.
Menembus celah-celah tetes hujan yang masih besar. Langkah aku mulai melemas. Begitu juga dengan ibu. Sudah beberapa kali kami terjatuh. Pria itu mulai gerang. Dan akhirnya menembakkan bilahan peluru di pistolnya hampir mengenai aku namun dengan sigap ibu menghalangi aku dengan tubuhnya. Peluru itu menembus dada sebelah kiri ibu. Ibu mengerang kesakitan. Aku menangis melihat ibu.
“Ibu…” Teriakanku di barengi dengan cucuran air mataku.
“Eh pria gila awas kamu tunggu pembalasanku.” Kataku kesal.
Pria itu tertawa sengit. Menatapku dengan tatapan kesal pula.
“Nak lari lah. Jangan kau hiraukan ibu disini. Apapun yang terjadi kamu harus menghadapinya. Ibu sayang kamu.” Kata ibu dengan suara tersedat-sedat menahan sakit.
“Tapi bu… Lena tak mungkin meninggalkan ibu dalam keadaan seperti ini.”
“Jangan hiraukan ibu, sebelum pria itu mulai marah kepadamu.”
Aku sempat ragu meninggalkan ibu sendiri namun benar saja pria itu makin mendekat. Aku kecup kening ibu dan aku lepaskan genggamanku dari tangan ibu. Dengan hati teriris-iris aku berlari sepanjang jalan, melewati rerumputan. Berkelok, berlari diantara gang-gang sempit, hingga akhirnya pria itu tak dapat menemukan jejakku.
Aku duduk tak berdaya disalah satu toko yang tertutup. Air mataku terus bercucuran, aku genggam erat selendang yang ibu berikan tadi. Rasa ini benar-benar membuat napasku sesak. Rasa dingin pun terus menusuk-nusuk sekujur tubuhku.
***
Saat aku pulang ke rumah dengan langkah lemas. Ibu dan Ayah ditemukan sudah tidak bernyawa di dalam rumah dengan mayat berjejer. Rumah pun dalam keadaan yang begitu rancuh. Ku lihat kedua tubuh mereka dengan linangan air mata yang benar-benar tak dapat aku bendung. Aku layangkan jemariku ke wajah mereka satu persatu.
Tubuh mereka bersimbah darah di bagian tubuhnya. Ayah yang paling parah. Sejak itu aku hidup seorang diri. Hal yang sudah membuat hatiku lega adalah orang-orang yang telah membunuh kedua orang tuaku telah ditangkap oleh polisi. Setelah aku melaporkan kejadian itu dan aku serahkan amplop yang mereka cari di rumahku. Ternyata amplop itu berisi tentang perjanjian dengan seseorang mengenai rencana pembunuhan dan perampokan bank. Mereka mafia yang cerdas, namun salah seorang rekannya merekam kejadian yang begitu mengenaskan. Dan berhasil mengambil berkas-berkas itu.
Berkas itu dicari-cari hingga yang merekam dan berusaha melapor menjatuhkan amplop itu di tumpukan sampah. Ayahku yang menemukannya. Saat menemukannya salah seorang mafia itu melihat ayah namun ayah berusaha tak tahu dan tenang untung mereka tak curiga. Lama-lama mereka mulai mencurigai ayah dan mencari rumah ayah.
***
Aku tatap rumah yang sekarang hanya aku huni sendiri itu dengan tatapan yang sayu. Ibu dan Ayah memang sudah tidak lagi menemani jazat dan ragaku. Namun jiwa mereka selalu bersamaku. Akan aku hadapi hari esok dengan tegar. Setegar mentari bersinar menghangatkan bumi.
Walau terkadang tragedi itu selalu hadir dalam pikiranku. Ingin rasanya aku dapat menghapusnya namun goresann itu terlalu dalam hingga aku tak dapat menghapusnya dengan cara apapun, dengan usaha apapun. Yang harus aku lakukan adalah menata kehidupanku kembali. Aku tak sendiri di dunia ini. Allah masih memberiku kesempatan untuk dapat menikmati dan mensyukuri kekuasaan-Nya.
Aku percaya roda kehidupan masih berputar. Maka aku harus siap. Setelah gelap pasti ada terang. Ada hitam juga ada putih. Ada masa lalu juga ada masa yang akan datang. Hal yang musti kita takuti adalah saat kita bertemu Sang Pemberi Hidup kita dalam keadaan kotor.

—- T HE  END —-

0 comments:

Post a Comment

Comments